Xi Jinping membangun Proyek Tembok Hijau China, menanam 66 Miliar Pohon China. Tapi, ilmuwan protes! Simak 3 masalah ekologis terbesar program ambisius ini.
TechnonesiaID - China dikenal dengan proyek-proyek infrastruktur berskala raksasa, dan upaya mereka melawan perubahan iklim serta desertifikasi juga tak kalah ambisius. Sejak tahun 1978, Tiongkok telah meluncurkan program rekayasa ekologi terbesar di dunia, dikenal sebagai “Great Green Wall” atau Tembok Hijau Raksasa.
Program ini dirancang untuk menciptakan sabuk hutan tiruan sepanjang ribuan kilometer, membentang melintasi wilayah utara negara tersebut. Tujuannya tunggal: menahan ekspansi masif dari Gurun Gobi dan Taklamakan yang mengancam wilayah pertanian dan pemukiman.
Baca Juga
Advertisement
Namun, di balik angka penanaman pohon yang fantastis—mencapai puluhan miliar—terdapat suara-suara lantang dari komunitas ilmiah. Para ilmuwan berpendapat bahwa ambisi besar ini berisiko menyebabkan bencana ekologis yang lebih parah di masa depan. Mengapa proyek yang niatnya baik ini justru memicu kontroversi?
Skala Proyek dan Target 66 Miliar Pohon China
Secara resmi dikenal sebagai Three-North Shelter Forest Program, Proyek Tembok Hijau China adalah respons langsung terhadap fenomena “pasir kuning” yang secara rutin melumpuhkan kota-kota besar, termasuk Beijing. Fenomena ini terjadi akibat Gurun Gobi meluas dengan kecepatan sekitar 3.600 kilometer persegi per tahun.
Sejak diluncurkan empat dekade lalu, pencapaian penanaman pohon oleh China sudah mencapai angka yang sulit dibayangkan. Hingga saat ini, China telah menanam lebih dari 66 miliar pohon di sepanjang perbatasan yang berhadapan dengan Mongolia, Kazakhstan, dan Kirgizstan.
Baca Juga
Advertisement
Komitmen pemerintah China terhadap proyek ini tidak surut. Mereka berencana menanam tambahan 34 miliar pohon lagi dalam 25 tahun ke depan. Jika target ini tercapai, China akan memiliki sabuk hijau terbesar di dunia, menutupi area yang hampir setara dengan gabungan ukuran Spanyol dan Prancis.
Angka 66 Miliar Pohon China jelas menunjukkan keseriusan dalam mitigasi lingkungan. Namun, keberhasilan sebuah program lingkungan tidak diukur hanya dari jumlah pohon yang ditanam, melainkan dari keberlanjutan ekosistem yang tercipta.
Proyek Tembok Hijau China: Melawan Ekspansi Gurun Gobi
Ancaman desertifikasi (perluasan gurun) di Tiongkok utara sangat nyata dan berdampak langsung pada perekonomian. Gurun pasir membawa badai debu yang merusak lahan pertanian, mengurangi kualitas udara, dan memaksa migrasi penduduk.
Baca Juga
Advertisement
Filosofi di balik Proyek Tembok Hijau China adalah sederhana: pohon bertindak sebagai penghalang alami. Akar pohon mengikat tanah, mengurangi erosi, dan membantu menahan pergerakan bukit pasir. Secara teori, ini adalah solusi yang efektif dan intuitif.
Pemerintah China mengklaim bahwa proyek ini telah berhasil mengurangi area gurun yang meluas, memberikan perlindungan bagi lahan kritis, dan meningkatkan tutupan hutan secara signifikan di wilayah utara. Namun, data ini yang kemudian dipertanyakan oleh para ahli independen di seluruh dunia.
Mengapa Ilmuwan Protes? 3 Masalah Besar Ekologis
Meskipun menanam pohon adalah tindakan yang dianggap “hijau”, implementasi Proyek Tembok Hijau China ternyata jauh dari sempurna. Para ilmuwan menyoroti tiga permasalahan ekologis mendasar yang membuat proyek ini berisiko gagal atau bahkan memperburuk kondisi lingkungan jangka panjang.
Baca Juga
Advertisement
1. Pemilihan Pohon yang Salah (Monokultur)
Salah satu kritik terbesar adalah fokus pada kuantitas daripada kualitas atau keragaman. Untuk mencapai target penanaman yang besar, pemerintah seringkali memilih jenis pohon yang tumbuh cepat dan mudah dibudidayakan, seperti poplar atau jenis Eucalyptus tertentu.
Masalahnya, wilayah utara China yang gersang memiliki ekosistem alami yang unik, didominasi oleh semak belukar, rumput, dan spesies pohon yang mampu bertahan di kondisi minim air. Dengan menanam spesies non-pribumi (non-endemik) dalam jumlah besar, China menciptakan apa yang disebut sebagai hutan monokultur.
- Pohon non-endemik seringkali memiliki tingkat ketahanan hidup yang rendah dalam jangka panjang di lingkungan yang keras.
- Hutan monokultur sangat rentan terhadap penyakit dan serangan hama, yang dapat menyebar dengan cepat dan memusnahkan seluruh area penanaman.
- Kurangnya keanekaragaman hayati membuat ekosistem buatan ini tidak sekuat dan setahan lama ekosistem alami.
Ilmuwan memperkirakan bahwa tingkat kematian pohon yang ditanam dalam proyek ini sangat tinggi, berkisar antara 40% hingga 70% di beberapa lokasi, menjadikannya pemborosan sumber daya dan tenaga.
Baca Juga
Advertisement
2. Krisis Air di Wilayah Kering
Ironisnya, upaya menanam miliaran pohon di wilayah kering dapat mempercepat krisis sumber daya air. Pohon, terutama spesies yang dipilih untuk pertumbuhan cepat, membutuhkan air dalam jumlah besar untuk bertahan hidup dan tumbuh subur.
Gurun Gobi dan sekitarnya adalah wilayah yang secara alami menerima curah hujan sangat rendah. Ketika miliaran pohon baru ditanam, mereka bersaing secara agresif dengan vegetasi asli yang sudah beradaptasi, serta dengan kebutuhan air masyarakat lokal.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa di daerah tertentu, penanaman pohon-pohon haus air ini justru menyebabkan permukaan air tanah (akuifer) menurun drastis. Hal ini membuat wilayah yang seharusnya dilindungi menjadi lebih kering dan lebih rentan terhadap desertifikasi di kemudian hari. Dengan kata lain, solusi yang diterapkan justru mengkonsumsi sumber daya yang paling langka di sana.
Baca Juga
Advertisement
3. Keberhasilan yang Semu dan Pelaporan yang Buruk
Para ilmuwan juga mengkritik cara pemerintah mengukur keberhasilan proyek ini. Fokus utama adalah pada metrik seperti “persentase area yang telah ditanami” atau “jumlah pohon yang ditanam,” bukan pada keberhasilan pohon tersebut bertahan hidup setelah 10 atau 20 tahun.
Ada kekhawatiran bahwa data yang disajikan oleh otoritas lokal seringkali dilebih-lebihkan untuk memenuhi target Beijing. Karena tekanan untuk mencapai target penanaman 66 Miliar Pohon China, insentif finansial seringkali diberikan untuk kegiatan penanaman, bukan untuk kegiatan pemeliharaan jangka panjang.
Beberapa ahli menyarankan bahwa pendekatan yang lebih efektif seharusnya adalah restorasi ekosistem alami. Ini berarti melindungi dan mempromosikan pertumbuhan spesies asli yang berakar dangkal (seperti semak dan rumput xerofitik), yang jauh lebih hemat air dan secara historis telah berhasil menahan pergerakan pasir.
Baca Juga
Advertisement
Masa Depan Tembok Hijau: Antara Ambisi dan Realitas Ekologis
Proyek Tembok Hijau China adalah studi kasus penting tentang bagaimana ambisi politik dan teknik rekayasa berskala besar berhadapan dengan kompleksitas ekologi alam. Upaya untuk menanam puluhan miliar pohon menunjukkan komitmen China yang luar biasa terhadap isu lingkungan.
Namun, tantangan yang dihadapi China saat ini adalah menyeimbangkan angka fantastis tersebut dengan prinsip keberlanjutan. Kegagalan untuk beralih dari hutan monokultur yang haus air ke restorasi ekosistem yang beragam dan adaptif berpotensi mengubah proyek perlindungan ini menjadi bencana lingkungan yang mahal.
Untuk memastikan bahwa “tembok hijau” ini benar-benar menjadi penghalang yang efektif bagi Gurun Gobi, para pembuat kebijakan harus mulai mendengarkan protes ilmiah. Implementasi di masa depan harus fokus pada spesies lokal, efisiensi air, dan keragaman hayati. Sebab, hanya ekosistem yang seimbanglah yang mampu bertahan menghadapi tekanan iklim dalam jangka waktu panjang.
Baca Juga
Advertisement
Dapatkan informasi terbaru seputar Gadget, Elektronik, Anime, Game, Tech dan Berita Tekno lainnya setiap hari melalui social media TechnoNesia. Ikuti kami di :
- Instagram : @technonesia_id
- Facebook : Technonesia ID
- X (Twitter) : @technonesia_id
- Whatsapp Channel : Technonesia.ID
- Google News : TECHNONESIA