Mengapa banyak Gen Z tinggalkan kuliah? Biaya mahal dan kurang relevannya materi jadi pemicu utama. Simak 5 alasan Dampak AI pada pendidikan mengubah pilihan karier.
TechnonesiaID - Pergeseran besar dalam cara pandang generasi muda terhadap pendidikan tinggi sedang terjadi. Jika dahulu kuliah adalah gerbang utama menuju kesuksesan, kini, bagi Generasi Z (Gen Z), definisi kesuksesan itu mulai didikte oleh faktor biaya, relevansi keterampilan, dan tentu saja, kecepatan perkembangan teknologi, khususnya Artificial Intelligence (AI).
Sebuah survei terbaru yang dilakukan oleh Gallup di Amerika Serikat menunjukkan temuan yang mengejutkan: hampir seperempat responden muda menyatakan bahwa mereka tidak memiliki kepercayaan pada pendidikan tinggi. Ini bukanlah sekadar tren sesaat, melainkan indikasi kuat bahwa institusi pendidikan formal perlu beradaptasi atau menghadapi risiko ditinggalkan oleh calon mahasiswa potensial.
Baca Juga
Advertisement
Lantas, apa yang membuat keputusan Gen Z tinggalkan kuliah semakin rasional? Jawabannya terletak pada kalkulasi Return on Investment (ROI) yang dinilai tidak sebanding, serta ketakutan bahwa gelar sarjana mungkin tidak menjamin pekerjaan di era yang didominasi oleh kecerdasan buatan.
Mengapa Kepercayaan Gen Z Terhadap Kuliah Menurun Drastis?
Isu utama yang menjadi sorotan adalah faktor ekonomi. Biaya kuliah, terutama di negara maju, terus melambung tinggi, jauh melampaui rata-rata peningkatan pendapatan. Hal ini membuat utang pendidikan menjadi beban finansial jangka panjang yang menakutkan bagi Gen Z yang baru memulai karier.
Namun, faktor biaya hanyalah permukaan. Ketika ditelusuri lebih dalam, Gen Z memiliki kritik mendasar terhadap kurikulum universitas yang dianggap lambat dan tidak adaptif terhadap kebutuhan industri 4.0. Mereka merasa bahwa universitas tidak mengajarkan keterampilan keras (hard skills) yang relevan dan dibutuhkan oleh pasar kerja saat ini.
Baca Juga
Advertisement
Relevansi Keterampilan di Era Digital
Banyak lulusan sarjana menemukan bahwa pekerjaan yang mereka dapatkan tidak memerlukan spesialisasi tingkat tinggi seperti yang dijanjikan oleh gelar mereka. Sementara itu, keterampilan praktis dan teknis, yang seringkali didapatkan melalui pelatihan singkat atau pengalaman langsung, justru memiliki permintaan yang tinggi.
Pandangan bahwa “kuliah adalah investasi masa depan” kini dipertanyakan. Bagi banyak Gen Z tinggalkan kuliah, mereka melihat jalur cepat menuju penghasilan melalui pendidikan vokasi atau bahkan terjun langsung ke lapangan kerja sebagai solusi yang lebih masuk akal.
5 Alasan Utama Mengapa Gen Z Tinggalkan Kuliah
Keputusan untuk memilih jalur karier non-akademik, seperti menjadi teknisi, montir, atau pekerja terampil (yang sering disebut sebagai ‘tukang’ di Indonesia), semakin populer. Berikut adalah 5 alasan utama yang mendorong pergeseran paradigma pendidikan Gen Z:
Baca Juga
Advertisement
- 1. Biaya dan Utang Pendidikan yang Fantastis: Biaya kuliah yang membengkak menghasilkan utang besar bagi mahasiswa. Gen Z, yang menyaksikan kesulitan ekonomi orang tua dan generasi sebelumnya, cenderung menghindari risiko finansial ini. Mereka lebih memilih memulai karier tanpa beban utang.
- 2. ROI Pendidikan yang Semakin Rendah: Dalam banyak kasus, gaji awal lulusan sarjana seringkali tidak jauh berbeda dari pekerja terampil yang tidak melalui bangku kuliah. Ini membuat nilai investasi (waktu dan uang) selama 4 tahun dipertanyakan.
- 3. Kebutuhan Mendesak untuk Keterampilan Vokasi: Dunia membutuhkan tukang, teknisi las, mekanik, dan ahli listrik. Ini adalah pekerjaan yang tidak bisa diotomatisasi sepenuhnya dan memerlukan kehadiran fisik serta keahlian tangan yang spesifik. Pekerjaan ini kini menawarkan gaji kompetitif.
- 4. Akses ke Pendidikan Alternatif Cepat: Munculnya platform pelatihan daring, bootcamp coding, dan sertifikasi industri memungkinkan Gen Z memperoleh keterampilan spesifik (misalnya, menjadi ahli data atau ahli SEO) dalam hitungan bulan, bukan tahun. Ini adalah jalur yang jauh lebih efisien.
- 5. Ketidakpastian Pasar Kerja Akibat AI: Dampak AI pada pendidikan sangat terasa. AI generatif kini mampu mengerjakan tugas-tugas administratif, penulisan, hingga analisis data tingkat dasar. Profesi ‘kerah putih’ tradisional yang membutuhkan gelar sarjana (seperti staf administrasi atau analis junior) adalah yang paling rentan digantikan oleh AI.
Peran Nyata Dampak AI pada Pendidikan dan Pekerjaan
Fenomena ini bukan hanya tentang Gen Z yang malas belajar; ini adalah respons logis terhadap perubahan fundamental dalam struktur pasar kerja. AI mengubah nilai keterampilan yang kita hargai. Pekerjaan yang bersifat kognitif dan repetitif kini dapat diotomatisasi dengan mudah.
Kontrasnya, pekerjaan di sektor “kerah biru” (tukang) yang memerlukan interaksi fisik, manipulasi objek nyata, dan keahlian spesifik seperti instalasi pipa, perbaikan mesin, atau pembangunan, menjadi kebal terhadap otomatisasi oleh AI, setidaknya dalam jangka pendek.
Memahami Dampak AI pada Pendidikan Tinggi dan Keterampilan Masa Depan
Ketika Gen Z melihat bahwa kemampuan AI mampu menggantikan pekerjaan entry-level yang biasanya diisi oleh lulusan baru, mereka mulai berpikir pragmatis: mengapa menghabiskan puluhan juta rupiah untuk gelar yang mungkin hanya menghasilkan pekerjaan yang rentan digantikan teknologi?
Baca Juga
Advertisement
Hal ini memicu apa yang disebut “Blue Collar Boom” atau ledakan permintaan terhadap pekerja terampil. Pekerjaan yang membutuhkan keterampilan tukang kini memiliki citra baru: pekerjaan yang stabil, menghasilkan uang cepat, dan memiliki permintaan yang terus meningkat.
Gen Z tinggalkan kuliah bukan berarti mereka anti-belajar. Justru, mereka menunjukkan kesadaran finansial dan karier yang sangat tinggi. Mereka mencari jalur pendidikan yang lebih singkat dan berfokus pada hasil praktis. Institusi yang berhasil menawarkan keterampilan spesifik dengan harga terjangkau adalah yang akan memenangkan hati generasi ini.
Masa Depan Pendidikan: Fleksibilitas Adalah Kunci
Survei dan tren ini menjadi peringatan keras bagi perguruan tinggi. Untuk tetap relevan, universitas harus secara radikal mengubah kurikulum mereka, menekankan keterampilan masa depan yang kritis seperti kreativitas, pemikiran strategis, dan keahlian yang dapat bekerja bersama AI, bukan bersaing dengannya.
Baca Juga
Advertisement
Perguruan tinggi harus menawarkan fleksibilitas yang lebih besar, mungkin melalui gelar yang lebih singkat, program sertifikasi yang terintegrasi, atau magang wajib yang benar-benar memberikan pengalaman industri. Hanya dengan begitu, mereka dapat membuktikan bahwa biaya yang mahal setara dengan nilai dan relevansi yang ditawarkan di dunia yang terus berubah cepat berkat Dampak AI pada pendidikan dan pekerjaan.
Pilihan karier Gen Z—apakah itu menjadi insinyur perangkat lunak lulusan bootcamp atau menjadi teknisi ahli yang sangat dicari—adalah cerminan dari tuntutan ekonomi modern. Mereka memilih jalur yang paling efisien untuk mencapai stabilitas finansial dan keahlian yang terbukti anti-AI.
Baca Juga
Advertisement
Dapatkan informasi terbaru seputar Gadget, Elektronik, Anime, Game, Tech dan Berita Tekno lainnya setiap hari melalui social media TechnoNesia. Ikuti kami di :
- Instagram : @technonesia_id
- Facebook : Technonesia ID
- X (Twitter) : @technonesia_id
- Whatsapp Channel : Technonesia.ID
- Google News : TECHNONESIA