Mengapa upaya Xi Jinping menggenjot Industri Chip China tak berjalan mulus? Simak 5 penghalang utama menuju Kemandirian Teknologi Chip di tengah sanksi AS.
TechnonesiaID - Ambisi Republik Rakyat China untuk mencapai swasembada teknologi, terutama di sektor semikonduktor, telah menjadi topik perdebatan global selama bertahun-tahun. Di bawah kepemimpinan Presiden Xi Jinping, proyek “Made in China 2025” menempatkan pengembangan Industri Chip China sebagai prioritas nasional tertinggi.
Tujuannya jelas: melepaskan diri dari jerat ketergantungan teknologi Amerika Serikat (AS) yang semakin ketat, terutama setelah serangkaian sanksi ekspor yang diterapkan Washington.
Baca Juga
Advertisement
China telah menggelontorkan ratusan miliar dolar untuk mendanai pabrik, penelitian, dan pengembangan perusahaan domestik. Nama-nama besar seperti SMIC dan Huawei menjadi garda terdepan dalam upaya ini.
Namun, meskipun dana yang digelontorkan sangat besar, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa perjalanan menuju Kemandirian Teknologi Chip masih sangat terjal. Tantangan yang dihadapi China bukan hanya soal kecepatan produksi, tetapi lebih fundamental, menyangkut seluruh rantai pasok global yang sangat kompleks.
Mengapa Kemandirian Teknologi Chip Begitu Krusial bagi China?
Chip semikonduktor, atau sering disebut sirkuit terpadu, adalah jantung dari setiap perangkat modern, mulai dari ponsel pintar, mobil listrik, hingga sistem senjata dan, yang paling penting saat ini, Kecerdasan Buatan (AI).
Baca Juga
Advertisement
Bagi Beijing, kendali atas suplai chip bukan hanya masalah ekonomi, tetapi juga keamanan nasional. Sanksi AS telah membuktikan bahwa ketergantungan pada teknologi asing dapat menjadi titik lemah strategis.
Ketika AS membatasi ekspor peralatan canggih dan chip AI dari perusahaan seperti Nvidia dan AMD, kemampuan China dalam mengembangkan AI generatif dan komputasi super pun terhambat secara drastis.
Oleh karena itu, upaya menggenjot Industri Chip China merupakan pertarungan hidup mati untuk memastikan kedaulatan teknologi dan memenuhi ambisi globalnya.
Baca Juga
Advertisement
5 Tantangan Raksasa Menghadang Industri Chip China
Meskipun ada kemajuan sporadis, terutama yang ditunjukkan oleh Huawei dengan chip Kirin 9000S, sebagian besar analis sepakat bahwa China masih tertinggal jauh di belakang Taiwan (TSMC), Korea Selatan (Samsung), dan AS (Intel/Nvidia) dalam teknologi prosesor mutakhir. Berikut adalah lima penghalang utama yang membuat upaya menuju Kemandirian Teknologi Chip terasa seperti mimpi di siang bolong.
#1 Keterbatasan pada Mesin Litografi Canggih (EUV/DUV)
Mencetak chip modern (di bawah 10 nanometer) membutuhkan teknologi litografi yang sangat presisi. Mesin tercanggih di dunia saat ini, Extreme Ultraviolet (EUV), diproduksi secara eksklusif oleh perusahaan Belanda, ASML.
AS berhasil menekan Belanda untuk melarang ekspor mesin EUV ke China. Bahkan, pembatasan juga diperluas ke mesin Deep Ultraviolet (DUV) tertentu yang masih digunakan untuk chip generasi yang lebih tua.
Baca Juga
Advertisement
Tanpa akses ke mesin EUV, China tidak akan mampu memproduksi chip 5nm atau 3nm secara massal dan efisien. Upaya China mengembangkan mesin litografi domestik masih jauh dari standar ASML, membuat pembangunan fondasi Industri Chip China modern terhambat di tingkat hulu.
#2 Kesenjangan Desain dan Arsitektur Chip AI
Perlombaan AI didominasi oleh chip grafis (GPU) yang dirancang oleh Nvidia. Chip AI terbaik seperti H100 dan A100 milik Nvidia adalah standar emas global. Meskipun China memiliki produsen chip AI yang menjanjikan—seperti Huawei dengan seri Ascend-nya—mereka masih kesulitan menandingi kinerja dan ekosistem perangkat lunak yang dibangun oleh Nvidia.
Keunggulan Nvidia bukan hanya pada perangkat keras, tetapi pada ekosistem perangkat lunak CUDA mereka, yang telah menjadi standar industri. Mengembangkan alternatif yang sama-sama kuat membutuhkan waktu puluhan tahun, menempatkan Industri Chip China pada posisi yang sangat sulit dalam persaingan AI global.
Baca Juga
Advertisement
#3 Ketergantungan pada Software EDA (Electronic Design Automation)
Pembuatan chip modern sangat bergantung pada perangkat lunak khusus yang disebut EDA. Software ini digunakan untuk merancang, mensimulasikan, dan memverifikasi tata letak chip yang rumit sebelum diproduksi.
Industri EDA didominasi oleh tiga perusahaan AS: Synopsys, Cadence, dan Mentor Graphics (Siemens EDA). Hampir mustahil mendesain chip canggih tanpa menggunakan salah satu dari alat ini. Meskipun Beijing berinvestasi besar pada perusahaan EDA domestik, para ahli mengakui bahwa software lokal masih jauh tertinggal dalam hal kemampuan, kompatibilitas, dan integrasi dengan proses manufaktur.
#4 Ekosistem Material dan Kimia Murni yang Belum Matang
Proses manufaktur chip membutuhkan ribuan bahan kimia dan material super murni yang diolah dengan presisi ekstrem. Bahan-bahan ini seringkali dipasok oleh perusahaan spesialis dari Jepang, AS, dan Eropa, seperti gas ultra-murni, photoresist (bahan peka cahaya), dan target sputtering.
Baca Juga
Advertisement
Meskipun China adalah produsen bahan kimia dasar terbesar di dunia, mencapai tingkat kemurnian yang dibutuhkan untuk proses fabrikasi semikonduktor canggih membutuhkan teknologi yang sangat spesifik.
- Kualitas photoresist China masih di bawah standar global.
- Keterbatasan pasokan gas neon dan kripton dengan tingkat kemurnian tinggi.
- Kesenjangan dalam teknologi pemurnian silikon murni (wafer).
Kerentanan pada rantai pasok material ini menjadi hambatan serius bagi upaya Kemandirian Teknologi Chip secara menyeluruh.
#5 Isu Keberlanjutan SDM dan Biaya Fantastis
Mengembangkan industri semikonduktor membutuhkan sumber daya manusia (SDM) yang sangat terampil—insinyur fisika, kimia, dan material dengan pengalaman puluhan tahun.
Baca Juga
Advertisement
Meskipun China memiliki banyak lulusan sains dan teknik, transisi dari penelitian dasar ke produksi massal chip canggih seringkali sulit dan memerlukan transfer pengetahuan internasional yang kini diblokir oleh sanksi.
Selain itu, biaya yang terlibat sungguh fantastis. Membangun dan mengoperasikan pabrik (fab) canggih membutuhkan investasi puluhan miliar dolar, dan tingkat kegagalan awal sangat tinggi. Pemerintah China memang menggelontorkan dana, tetapi efisiensi dan tata kelola dana tersebut seringkali dipertanyakan, dengan banyak kasus korupsi dan proyek mangkrak.
Ancaman Nyata bagi Dominasi AS (Perspektif Nvidia)
Di tengah semua tantangan struktural yang dihadapi China, penting untuk mengakui bahwa mereka tidak tinggal diam. Kecepatan inovasi Huawei, misalnya, membuat beberapa pemimpin industri AS merasa khawatir.
Baca Juga
Advertisement
CEO Nvidia, Jensen Huang, secara terbuka menyatakan kekhawatiran bahwa AS hanya tertinggal sedikit dari China dalam beberapa area, dan jika sanksi terus-menerus diterapkan, China akan terdorong untuk menciptakan solusi domestik yang akhirnya akan menggantikan produk AS.
Huang mewanti-wanti bahwa jika AS terus-terusan membatasi penjualan chip kelas menengah ke China (sebagai upaya untuk menghindari sanksi penuh atas chip tercepat), hal itu justru akan mempercepat pengembangan chip domestik China. Begitu China berhasil membangun alternatif, pasar yang hilang bagi AS akan menjadi permanen.
Ini menunjukkan dilema yang dihadapi Washington: sanksi memang menghambat perkembangan jangka pendek China, tetapi juga memicu upaya besar-besaran untuk mencapai Kemandirian Teknologi Chip yang pada akhirnya bisa merugikan dominasi perusahaan AS seperti Nvidia di masa depan.
Baca Juga
Advertisement
Kesimpulan: Jauh dari Harapan, Penuh Perjuangan
Upaya Xi Jinping untuk mengamankan Kemandirian Teknologi Chip adalah proyek dengan ambisi raksasa. Meskipun perusahaan seperti Huawei menunjukkan bahwa China mampu mencapai lompatan teknologi yang mengejutkan, hambatan struktural—mulai dari ketiadaan mesin litografi EUV, ketergantungan pada software EDA AS, hingga kurang matangnya ekosistem material—menjadi ganjalan yang sangat sulit diatasi.
Saat ini, China memang masih jauh dari harapan untuk menyaingi Taiwan atau Korea Selatan dalam produksi chip cutting-edge secara massal. Namun, investasi besar dan tekanan geopolitik memastikan bahwa Beijing tidak akan pernah menyerah. Perjuangan di sektor semikonduktor ini akan terus menjadi medan perang teknologi terpanas di dunia untuk dekade mendatang.
Baca Juga
Advertisement
Dapatkan informasi terbaru seputar Gadget, Elektronik, Anime, Game, Tech dan Berita Tekno lainnya setiap hari melalui social media TechnoNesia. Ikuti kami di :
- Instagram : @technonesia_id
- Facebook : Technonesia ID
- X (Twitter) : @technonesia_id
- Whatsapp Channel : Technonesia.ID
- Google News : TECHNONESIA