Penasaran kenapa Hamish Daud hengkang dari startup daur ulang Octopus? Simak 5 pelajaran penting tentang risiko dan masalah operasional yang menjerat kisah Octopus Hamish Daud.
TechnonesiaID - Nama Hamish Daud seringkali kita kenal sebagai seorang aktor, presenter, dan aktivis lingkungan. Namun, di balik kariernya di dunia hiburan, Hamish juga pernah menjadi bagian penting dari ekosistem teknologi Indonesia, khususnya dalam bidang keberlanjutan. Ia adalah salah satu pendiri startup yang bergerak di sektor daur ulang, bernama Octopus.
Sayangnya, perjalanan Hamish Daud startup daur ulang ini harus diwarnai dengan segudang masalah. Dari isu operasional hingga gonjang-ganjing internal, Octopus kini berada di ambang ketidakjelasan. Kisah ini menjadi studi kasus menarik tentang betapa rentannya perjalanan sebuah startup, meskipun memiliki visi yang mulia dan dukungan dana yang besar.
Baca Juga
Advertisement
Mari kita selami lebih dalam, bagaimana Octopus didirikan, kejayaan pendanaan yang sempat diraih, hingga masalah-masalah krusial yang akhirnya membuat Hamish Daud memilih hengkang.
Awal Mula dan Visi Mulia Startup Daur Ulang Hamish Daud
Octopus didirikan dengan tujuan yang sangat ambisius: merevolusi industri daur ulang di Indonesia. Mereka berfokus pada pengumpulan sampah pascakonsumsi (post-consumer waste) melalui jaringan pengumpul yang terdigitalisasi.
Startup ini didirikan oleh lima orang, termasuk aktor kondang tersebut. Pendiri lainnya adalah Mohammad Ichsan, Niko Adi Nugroho, Rizki Mardian, dan Dimas Ario. Mereka ingin menciptakan solusi yang tidak hanya ramah lingkungan tetapi juga memberikan dampak sosial positif bagi para pengumpul sampah tradisional (pemulung).
Baca Juga
Advertisement
Pada dasarnya, model bisnis Octopus cukup menarik. Mereka menggunakan teknologi aplikasi untuk menghubungkan rumah tangga atau bisnis yang ingin mendaur ulang, dengan petugas pengumpul yang terverifikasi. Hal ini dianggap sebagai langkah maju dalam meningkatkan efisiensi rantai pasok daur ulang.
Janji Manis Pendanaan US$5 Juta yang Menguap
Puncak kejayaan finansial Octopus terjadi pada pertengahan tahun 2022. Saat itu, startup ini berhasil mengumumkan perolehan dana segar dalam jumlah fantastis, yaitu sebesar US$5 juta, atau setara dengan sekitar Rp 78 miliar (kurs saat ini).
Pendanaan tersebut dipimpin oleh investor besar, Openspace dan SOSV. Kepercayaan dari investor kelas kakap ini menunjukkan betapa besarnya potensi yang dilihat pada model bisnis “hijau” yang diusung Octopus.
Baca Juga
Advertisement
Pada saat pengumuman pendanaan, Octopus menyatakan rencana penggunaan dana tersebut secara rinci. Mereka berjanji akan membangun lima fasilitas pemilahan sampah baru dan mendirikan 1.700 pos pemeriksa (collection point) untuk memperluas jangkauan operasional mereka di seluruh Indonesia.
Namun, janji ekspansi masif ini kini menjadi pertanyaan besar, seiring dengan munculnya laporan tentang kesulitan internal dan operasional yang menimpa perusahaan.
5 Masalah Krusial yang Menggoyahkan Kisah Octopus Hamish Daud
Meskipun memiliki visi besar dan suntikan modal yang signifikan, kisah Octopus Hamish Daud harus berakhir pahit. Ada beberapa masalah fundamental yang dilaporkan menjadi penyebab utama terhentinya operasional startup ini:
Baca Juga
Advertisement
1. Isu Pengelolaan Dana dan Transparansi Operasional
Salah satu isu yang paling sensitif adalah mengenai pengelolaan dana hasil investasi. Laporan-laporan menyebutkan adanya masalah transparansi dalam penggunaan modal ventura. Dalam dunia startup, terutama yang bergerak di bidang sustainability, audit dan akuntabilitas adalah kunci, namun hal ini diduga menjadi titik lemah Octopus.
Kurangnya transparansi dapat dengan cepat merusak kepercayaan investor, yang merupakan nyawa bagi setiap perusahaan rintisan.
2. Konflik Internal dan Perpecahan Pendiri
Setiap startup rentan terhadap konflik antar pendiri, dan Octopus tidak terkecuali. Perbedaan visi, gaya manajemen, atau bahkan ketidaksepakatan dalam strategi bisnis dapat menciptakan lingkungan kerja yang tidak sehat.
Baca Juga
Advertisement
Perpecahan ini menjadi semakin parah hingga akhirnya berujung pada keputusan salah satu pendiri utama, yaitu Hamish Daud, untuk mundur dari jajaran manajemen.
3. Nasib Karyawan dan Mitigasi Dampak Sosial
Ketika operasional perusahaan mulai meredup, dampaknya langsung terasa pada karyawan dan mitra pengumpul. Banyak karyawan dan mitra yang dilaporkan tidak mendapatkan kejelasan mengenai gaji atau insentif mereka. Startup daur ulang ini seharusnya memberikan solusi sosial; ironisnya, ia justru menciptakan masalah sosial baru bagi para pekerjanya.
4. Kegagalan Memenuhi Target Investor
Modal ventura diberikan dengan ekspektasi pertumbuhan yang sangat cepat (hyper-growth). Ketika target operasional, seperti pembangunan fasilitas atau perluasan titik pengumpulan, tidak terpenuhi sesuai jadwal, investor akan menarik dukungan. Ini adalah tantangan umum bagi startup yang berekspansi terlalu cepat tanpa fondasi manajemen yang kuat.
Baca Juga
Advertisement
5. Krisis Kepercayaan Publik dan Pasar
Dengan munculnya berita-berita negatif di media massa, Octopus kehilangan kepercayaan dari publik dan pasar. Ini sangat merugikan, terutama bagi perusahaan yang bergantung pada partisipasi masyarakat (pengumpulan sampah) dan dukungan pemerintah/regulator.
Pelajaran Besar dari Kegagalan “Startup Hijau”
Kegagalan Octopus memberikan lima pelajaran berharga bagi ekosistem startup di Indonesia. Pelajaran ini bukan hanya relevan bagi pendiri, tetapi juga bagi para investor dan masyarakat yang tertarik pada teknologi berkelanjutan:
- Visi Saja Tidak Cukup: Meskipun memiliki visi lingkungan yang mulia dan menarik, eksekusi operasional dan manajemen keuangan adalah faktor penentu kelangsungan hidup.
- Pentingnya Founders’ Alignment: Sebelum menerima investasi besar, para pendiri harus memiliki kesepakatan yang solid (founder’s agreement) mengenai pembagian peran, pengambilan keputusan, dan jalan keluar.
- Transparansi Adalah Kunci Investor: Investor tidak hanya melihat potensi pendapatan, tetapi juga bagaimana dana mereka dikelola. Transparansi keuangan yang buruk adalah alarm merah terbesar.
- Skalabilitas yang Bertanggung Jawab: Ekspansi besar harus didukung oleh infrastruktur manajemen yang matang, bukan hanya janji di atas kertas. Terlalu cepat besar seringkali berarti terlalu cepat jatuh.
- Risiko Reputasi Founder: Keterlibatan figur publik seperti Hamish Daud membawa keuntungan besar dalam hal popularitas, tetapi juga risiko reputasi yang besar jika terjadi kegagalan.
Hamish Daud startup daur ulang ini mungkin gagal mencapai potensi maksimalnya, namun dampak lingkungan yang ingin dicapai melalui inovasi digital di sektor daur ulang tetap menjadi tujuan yang harus dikejar oleh startup-startup generasi berikutnya.
Baca Juga
Advertisement
Masa Depan Industri Daur Ulang Digital
Meskipun kisah Octopus Hamish Daud berakhir dengan catatan yang kurang memuaskan, hal ini tidak serta merta menandakan kegagalan industri daur ulang berbasis teknologi. Justru, kejadian ini menjadi pengingat bahwa sektor green tech membutuhkan fondasi bisnis yang jauh lebih solid dan audit yang ketat.
Peran selebriti sebagai pendiri memang dapat menarik perhatian, tetapi keberlanjutan perusahaan sepenuhnya tergantung pada ketangguhan model bisnis dan profesionalitas manajemen. Diharapkan, pengalaman Octopus ini dapat menjadi cerminan berharga agar startup lain di masa depan dapat menghindari jebakan yang sama, demi mencapai visi Indonesia yang lebih bersih dan berkelanjutan.
Baca Juga
Advertisement
Dapatkan informasi terbaru seputar Gadget, Elektronik, Anime, Game, Tech dan Berita Tekno lainnya setiap hari melalui social media TechnoNesia. Ikuti kami di :
- Instagram : @technonesia_id
- Facebook : Technonesia ID
- X (Twitter) : @technonesia_id
- Whatsapp Channel : Technonesia.ID
- Google News : TECHNONESIA