Warga RI terus jadi korban kebocoran data. Ironisnya, Badan Pengawas Data Pribadi yang seharusnya dibentuk oleh **Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi** (UU PDP) justru molor nyaris setahun. Apa dampaknya?
TechnonesiaID - Kondisi perlindungan data pribadi di Indonesia saat ini berada dalam situasi yang sangat ironis. Meskipun kita sudah memiliki payung hukum yang kuat, yaitu Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP), namun taring hukum tersebut belum juga muncul.
Sebab utama tumpulnya UU PDP adalah satu hal: **Badan Pengawas Data Pribadi** yang diamanatkan undang-undang untuk berdiri dan beroperasi, hingga kini belum juga dibentuk oleh pemerintah. Padahal, badan inilah yang seharusnya menjadi garda terdepan penegakan hukum dan pencegahan kebocoran data massal.
Baca Juga
Advertisement
Keterlambatan ini bukan hanya masalah administratif. Molornya pembentukan lembaga ini berdampak langsung pada miliaran data warga negara Indonesia yang terus menjadi target empuk kejahatan siber. Indonesia memiliki UU, tapi warga RI belum memiliki pelindung yang efektif.
Mengapa Pembentukan Badan Pengawas Data Pribadi Menjadi Sangat Krusial?
Sesuai mandat UU PDP, pembentukan Badan Pelindungan Data Pribadi (BPDP) seharusnya dilakukan maksimal satu tahun setelah undang-undang tersebut diundangkan, yang berarti batas waktunya sudah terlewati sejak akhir tahun lalu. Keterlambatan ini kini hampir mencapai satu tahun.
Badan pengawas ini dirancang bukan sekadar untuk mengawasi. Mereka adalah wasit, penegak hukum, sekaligus penasihat yang memiliki kekuatan untuk memberikan sanksi administratif hingga denda finansial yang besar kepada pihak yang lalai menjaga data.
Baca Juga
Advertisement
Tanpa badan ini, mekanisme pengawasan menjadi tidak jelas. Siapa yang berhak menyidik? Siapa yang berhak menentukan besaran denda? Semua pertanyaan ini menggantung, membuat perusahaan dan lembaga publik merasa “aman” meski terjadi kebocoran data.
Mandat Krusial Badan Pengawas Data Pribadi dalam UU PDP
Tugas dan fungsi yang diemban oleh BPDP sangat vital. Badan ini bertindak sebagai otoritas independen yang memastikan pelaksanaan **Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi** berjalan sebagaimana mestinya.
Beberapa fungsi utama yang harusnya dijalankan oleh **Badan Pengawas Data Pribadi** meliputi:
Baca Juga
Advertisement
- Penerapan dan penegakan sanksi administratif terhadap pelanggar UU PDP, termasuk denda yang dapat mencapai persentase tertentu dari pendapatan tahunan entitas yang melanggar.
- Melakukan pemeriksaan dan penyelidikan (audit) terhadap dugaan pelanggaran pemrosesan data pribadi oleh Pengendali Data Pribadi.
- Memberikan konsultasi dan edukasi kepada masyarakat mengenai hak-hak mereka terkait data pribadi.
- Menyusun standar dan pedoman teknis operasional terkait keamanan dan pemrosesan data.
- Menangani dan menindaklanjuti pengaduan dari subjek data (warga negara) yang merasa dirugikan.
Jelas terlihat bahwa tanpa adanya badan yang menjalankan fungsi-fungsi di atas, UU PDP hanya akan menjadi macan ompong yang tidak dapat menggigit pelanggar data besar.
Ironi Pelaksanaan UU PDP: Menyeret Warga, Abai pada Korporasi
Situasi ini diperparah oleh sebuah ironi yang sering terjadi di ranah hukum digital Indonesia. Sementara mekanisme pencegahan kebocoran data massal tersendat karena absennya Badan Pengawas Data Pribadi, di sisi lain, UU PDP justru beberapa kali digunakan untuk menyeret warga biasa ke ranah pidana.
Kasus-kasus yang melibatkan UU PDP seringkali terkait dengan pasal-pasal pidana yang sensitif, seperti pencemaran nama baik atau penyebaran data yang dikaitkan dengan UU ITE. Artinya, hukum yang seharusnya melindungi data warga, malah digunakan sebagai alat untuk menjerat warga itu sendiri.
Baca Juga
Advertisement
Bagaimana bisa ini terjadi? Ini terjadi karena penegakan hukum pidana lebih mudah dilakukan melalui jalur kepolisian dan kejaksaan yang sudah ada, sementara penegakan sanksi administratif besar-besaran (yang merupakan inti perlindungan data) memerlukan lembaga khusus yang berwenang, yaitu BPDP.
Akibatnya, hukuman terhadap entitas besar yang menyebabkan kerugian data jutaan orang sulit dilakukan. Namun, individu yang menyebarkan satu informasi pribadi orang lain bisa langsung diproses secara hukum.
Tiga Dampak Langsung Molornya Pelaksanaan Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi
Keterlambatan pembentukan lembaga pengawas ini menimbulkan efek domino yang merugikan. Dampaknya tidak hanya terasa di tingkat birokrasi, tetapi langsung dirasakan oleh setiap warga negara yang menggunakan layanan digital.
Baca Juga
Advertisement
1. Minimnya Akuntabilitas dalam Kasus Kebocoran Data
Ketika terjadi kebocoran data besar-besaran, respons dari perusahaan atau lembaga yang bersangkutan seringkali lambat dan tidak transparan. Tanpa adanya **Badan Pengawas Data Pribadi** yang berhak melakukan audit forensik dan menuntut pertanggungjawaban, tidak ada tekanan hukum yang memaksa mereka untuk bertindak cepat.
Masyarakat hanya bisa menerima permintaan maaf tanpa mengetahui akar masalahnya atau jaminan pencegahan di masa depan. Ini membuat pelaku usaha kurang termotivasi untuk menginvestasikan dana besar dalam keamanan data.
2. Ketidakpastian Hukum dan Yurisdiksi
Saat ini, urusan terkait data pribadi masih dipegang oleh beberapa kementerian atau lembaga dengan peran yang tumpang tindih. Misalnya, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) masih menjalankan peran pengawasan sementara.
Baca Juga
Advertisement
Namun, peran sementara ini tidak memiliki kekuatan eksekutorial dan independensi yang dimiliki oleh BPDP yang seharusnya. Ketidakjelasan yurisdiksi ini menciptakan kebingungan bagi korban dan juga bagi entitas yang mencoba patuh pada UU.
3. Peluang Google Discover yang Terlewat
Dalam konteks global, negara-negara yang serius melindungi data warganya sering mendapatkan perhatian positif, baik dari segi investasi maupun kepercayaan publik. Pelindungan data yang lemah membuat Indonesia rentan, tidak hanya secara hukum, tetapi juga merugikan citra digital negara.
Negara lain seperti di Uni Eropa (melalui GDPR) sudah menunjukkan bahwa pengawasan data yang kuat adalah kunci bagi ekosistem digital yang sehat. Keterlambatan ini membuat Indonesia tertinggal jauh dalam standar keamanan data internasional.
Baca Juga
Advertisement
Apa yang Perlu Dilakukan Pemerintah Selanjutnya?
Pemerintah, sebagai pelaksana amanat **Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi**, harus segera menyelesaikan proses pembentukan BPDP. Proses ini meliputi penetapan struktur kelembagaan, penentuan anggaran, dan pengangkatan anggota komisioner yang independen dan kompeten.
Pengamat teknologi dan hukum terus mendesak bahwa BPDP harus dibentuk sebagai lembaga yang benar-benar independen, terlepas dari kepentingan kementerian atau lembaga lain. Ini penting agar keputusan yang diambil murni berorientasi pada pelindungan data warga, bukan kepentingan politik atau bisnis.
Pembentukan yang tepat waktu dan independen akan memberikan sinyal kuat kepada dunia usaha bahwa Indonesia serius dalam hal keamanan siber. Selain itu, ini akan mengembalikan kepercayaan masyarakat bahwa **Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi** benar-benar dirancang untuk melindungi mereka.
Baca Juga
Advertisement
Sementara warga menanti kapan badan pengawas ini akan berdiri, satu hal yang pasti: kita tidak bisa lagi mengabaikan risiko kebocoran data. Masyarakat harus terus aktif menuntut transparansi dan akuntabilitas, sambil berharap bahwa taring hukum data Indonesia akan segera diasah dan digunakan untuk kepentingan yang benar.
Dengan adanya **Badan Pengawas Data Pribadi**, kita berharap Indonesia bisa beralih dari negara yang rentan data, menjadi negara yang disegani karena perlindungan datanya yang kuat.
Baca Juga
Advertisement
Dapatkan informasi terbaru seputar Gadget, Elektronik, Anime, Game, Tech dan Berita Tekno lainnya setiap hari melalui social media TechnoNesia. Ikuti kami di :
- Instagram : @technonesia_id
- Facebook : Technonesia ID
- X (Twitter) : @technonesia_id
- Whatsapp Channel : Technonesia.ID
- Google News : TECHNONESIA