Mengapa prosedur meninggalkan KTP atau difoto saat masuk gedung melanggar Aturan Perlindungan Data? Simak 5 fakta krusial Data Pribadi Masuk Gedung.
TechnonesiaID - Jika Anda sering bepergian ke gedung perkantoran, menara bisnis, atau bahkan beberapa area publik, Anda pasti akrab dengan prosedur standar: berhenti di meja front office, diminta menyerahkan Kartu Tanda Penduduk (KTP), dan terkadang diwajibkan difoto, lalu KTP Anda ditahan sementara sebagai jaminan.
Selama bertahun-tahun, prosedur ini dianggap sebagai hal yang lumrah dan wajar demi alasan keamanan. Namun, di era di mana kesadaran akan hak privasi dan implementasi Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) semakin kuat, praktik ini ternyata menyimpan masalah besar.
Baca Juga
Advertisement
Banyak pengelola gedung dan manajemen fasilitas ternyata masih belum patuh pada prinsip-prinsip dasar yang diamanatkan oleh UU PDP. Bahkan, langkah-langkah yang mereka anggap sebagai prosedur keamanan justru dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum.
Menurut peneliti dari Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (ELSAM), prosedur pengumpulan data yang tidak relevan dengan aktivitas yang dilakukan (seperti hanya sekadar masuk gedung) merupakan bentuk ketidakpatuhan terhadap UU PDP.
Prosedur Lama yang Berbahaya: Kenapa KTP Tidak Boleh Ditahan?
KTP adalah dokumen identitas tunggal yang berisi informasi sangat sensitif, termasuk Nomor Induk Kependudukan (NIK), foto, tanggal lahir, dan alamat. Informasi ini adalah Data Pribadi yang dilindungi secara ketat.
Baca Juga
Advertisement
Ketika Anda meninggalkan KTP Anda di meja resepsionis, Anda secara efektif menyerahkan kendali penuh atas data sensitif tersebut kepada pihak ketiga, yang belum tentu memiliki sistem pengamanan data yang memadai.
Risikonya bukan hanya kehilangan KTP, tetapi juga potensi penyalahgunaan data untuk pendaftaran pinjaman online ilegal, pembukaan akun palsu, atau kejahatan identitas lainnya.
Aturan Perlindungan Data dalam UU PDP sangat jelas: pengumpulan, pemrosesan, dan penyimpanan data harus didasarkan pada tujuan yang sah, jelas, dan minimalis.
Baca Juga
Advertisement
Analisis 5 Pelanggaran Data Pribadi Masuk Gedung
Permintaan menahan KTP atau merekam NIK secara langsung, seringkali melanggar beberapa prinsip kunci dalam UU PDP. Berikut adalah lima alasan utama mengapa praktik ini harus dihentikan dan dianggap melanggar hukum.
Prinsip Relevansi dan Minimisasi Data
UU PDP menegaskan bahwa data pribadi yang dikumpulkan harus relevan dengan tujuan pemrosesan. Untuk tujuan keamanan dan akses masuk gedung, data yang dibutuhkan seharusnya bersifat minimalis.
Apakah manajemen gedung benar-benar memerlukan NIK, alamat lengkap, dan status perkawinan Anda hanya untuk memastikan Anda adalah tamu sah? Jawabannya, menurut pakar privasi, adalah tidak.
Baca Juga
Advertisement
Data Pribadi Masuk Gedung yang relevan biasanya hanya nama, tujuan kunjungan, dan mungkin kontak yang dapat dihubungi. Menahan KTP jauh melampaui batasan relevansi ini, membuka celah kerentanan data yang tidak perlu.
Tidak Ada Dasar Hukum Jelas (Ketiadaan Consent yang Valid)
Dalam banyak kasus, penahanan KTP dilakukan secara wajib (dipaksa) dan tanpa memberikan alternatif yang layak. Ini menghilangkan prinsip persetujuan (consent) yang sah dan sukarela.
- Persetujuan yang sah harus diberikan secara spesifik dan eksplisit.
- Pengelola gedung seringkali tidak memberikan informasi detail mengenai bagaimana data tersebut akan diolah, disimpan, dan dimusnahkan.
Jika Anda tidak diizinkan masuk kecuali Anda menyerahkan KTP, maka itu bukan persetujuan, melainkan pemaksaan. Kondisi ini secara fundamental melanggar hak subjek data untuk mengontrol data mereka sendiri, sebagaimana diatur dalam Aturan Perlindungan Data.
Baca Juga
Advertisement
Risiko Penyalahgunaan Data
Ketika KTP Anda dipegang oleh staf resepsionis atau diletakkan dalam tumpukan dokumen, risiko kebocoran, kehilangan, atau penyalahgunaan data meningkat drastis. Fasilitas front office bukan dirancang sebagai tempat penyimpanan data sensitif yang aman setingkat bank atau lembaga pemerintah.
Bayangkan jika ada pihak yang tidak bertanggung jawab memotret KTP Anda. Hanya dengan NIK dan foto, kejahatan identitas bisa terjadi dalam hitungan menit.
Manajemen gedung secara hukum bertanggung jawab jika terjadi insiden kebocoran data. Hal ini tertuang jelas dalam pasal-pasal UU PDP mengenai sanksi dan tanggung jawab pengendali data.
Baca Juga
Advertisement
Jangka Waktu Penyimpanan Data
Data pribadi seharusnya tidak disimpan lebih lama dari yang diperlukan untuk tujuan aslinya. Jika tujuan utamanya adalah mencatat kunjungan, maka data harus dimusnahkan segera setelah tujuan tersebut tercapai (misalnya, setelah tamu keluar gedung).
Banyak sistem registrasi digital maupun manual tidak memiliki protokol pemusnahan data yang jelas. Akibatnya, data kunjungan Anda tahun lalu mungkin masih tersimpan di server mereka, padahal informasi itu sudah tidak relevan dan meningkatkan risiko kebocoran Data Pribadi Masuk Gedung.
Kewajiban Keamanan Data oleh Pengelola Gedung
Pengelola gedung, sebagai Pengendali Data Pribadi (jika mereka memproses data tamu), memiliki kewajiban mutlak untuk memastikan keamanan data, termasuk pencegahan akses tidak sah.
Baca Juga
Advertisement
Apakah sistem yang mereka gunakan sudah terenkripsi? Apakah hanya personel terbatas yang bisa mengakses data KTP yang difoto atau di-scan? Dalam banyak kasus, audit keamanan data ini belum dilakukan secara menyeluruh, menunjukkan kurangnya kepatuhan terhadap Aturan Perlindungan Data yang ketat.
Solusi Alternatif yang Lebih Aman dan Patuh UU PDP
Keamanan gedung adalah hal penting, namun hal itu tidak boleh mengorbankan hak privasi individu. Ada beberapa solusi modern yang bisa diterapkan oleh manajemen gedung untuk tetap menjaga keamanan tanpa melanggar UU PDP.
Berikut adalah alternatif yang lebih disarankan:
Baca Juga
Advertisement
- Verifikasi KTP Tanpa Penahanan: Pindai (scan) KTP sebentar untuk verifikasi identitas, lalu segera kembalikan. Sistem hanya mencatat nama dan foto (jika diperlukan), tanpa menyimpan NIK atau data sensitif lainnya.
- Menggunakan ID Pengunjung Berbasis Foto: Tamu difoto saat registrasi (bukan memotret KTP), dan data ini dikaitkan dengan ID pengunjung yang akan dipakai sementara.
- Penggunaan Kode QR atau Aplikasi: Tamu dapat melakukan registrasi pra-kunjungan melalui aplikasi, dan hanya menunjukkan kode QR saat tiba. Aplikasi tersebut menjamin bahwa hanya data minimal yang dibutuhkan (nama dan tujuan) yang disimpan sementara.
- Minta ID Sekunder Non-KTP: Jika diperlukan jaminan fisik, minta kartu ID kantor, kartu BPJS, atau kartu SIM, yang risikonya lebih rendah dibandingkan KTP yang memuat NIK.
Langkah-langkah ini menunjukkan bahwa manajemen gedung dapat menjalankan fungsi keamanan mereka sambil tetap menunjukkan komitmen tinggi terhadap kepatuhan dan menghormati hak setiap individu atas perlindungan Data Pribadi Masuk Gedung.
Kesimpulan: Saatnya Manajemen Gedung Berbenah
Praktik meminta KTP sebagai jaminan atau menahannya di front office adalah warisan prosedur lama yang harus segera ditinggalkan seiring berlakunya UU PDP di Indonesia.
Kewajiban kepatuhan terhadap Aturan Perlindungan Data kini berada di pundak pengelola data, termasuk manajemen fasilitas. Jika mereka gagal melindungi data yang mereka kumpulkan, sanksi tegas, baik denda maupun hukuman pidana, dapat menanti.
Baca Juga
Advertisement
Sebagai masyarakat, kita juga harus lebih kritis dan berani menolak menyerahkan data pribadi jika prosedur yang diminta terasa berlebihan atau tidak relevan. Kesadaran kolektif adalah kunci utama untuk memastikan implementasi UU PDP berjalan efektif dan menjamin hak-hak privasi kita terlindungi.
Dapatkan informasi terbaru seputar Gadget, Elektronik, Anime, Game, Tech dan Berita Tekno lainnya setiap hari melalui social media TechnoNesia. Ikuti kami di :
- Instagram : @technonesia_id
- Facebook : Technonesia ID
- X (Twitter) : @technonesia_id
- Whatsapp Channel : Technonesia.ID
- Google News : TECHNONESIA